Pages

Selasa, 22 April 2014

Cerpen terbaru

Sebuah karya dari Amalina Wahyuni


Esok, lusa atau tak akan lagi

      Sore ini, hujan turun lagi. Seperti sore-sore yang lalu. Menyenangkan. Membuat suasana di luar terlihat damai mententramkan. Tidak deras, hanya gerimis. Tetapi, cukup untuk membuat indah kerlip lampu yang mulai menyala satu persatu.
      Aku menghela napas panjang. Tanganku pelan menyentuh kaca yang berembun. Dingin pun mulai menyergap ujung jari, mengalir ke telapak tangan dan menerobos siku, bahu, kemudian tiba di hatiku.
      Dari lantai dua kamarku ini, aku memandang jalan besar. Ada lampu putih bundar setiap beberapa meter di pembatas jalan itu, serta pot dengan rumpun bunga. Lampu putih bundar itulah yang terlihat indah. Berbaur dengan puluhan siluet cahaya lampu mobil yang melintas.
      Setiap sore, aku selalu menyempatkan diri untuk berdiri didepan kaca sambil memandang keluar. Itu sudah menjadi ritualku seminggu terakhir. Disinilah tempatku tepekur mengenang semuanya, termasuk sebagian masa lalu yang masih membekas hingga saat ini.
      Aku melirik jam hijau bergambar katak yang terletak di meja belajarku. Sudah jam 7. Itu berarti, hampir setengah jam aku hanya berdiri memandang jalanan yang penuh cahaya. Seketika, aku teringat foto-foto dalam diafragma lambat itu.

-------------------------------------

      Hari itu adalah hari pembagian kelas untuk siwa baru di SMP-ku. Aku duduk bersama teman baruku, Tania namanya. Aku mencoba menyapanya.
      “Hai, namaku Lily” sambil menyodorkan tangan padanya.
      “Namaku Tania”, jawabnya sambil menjabat tanganku dan memasang tampang malu.
      “Semoga kita cocok dan bisa berteman baik, ya Tania!“ Aku tersenyum dan duduk di sebelahnya.
      Aku berfikir bahwa dia adalah anak yang pemalu. Tapi, dalam hitungan hari aku berubah fikiran. Tania sebenarnya bukan pemalu. Dia ramah, rajin, baik, humoris dan pintar. Hanya saja dia kurang percaya diri. Aku senang sebangku dengannya. Bahkan ketika aku mempunyai masalah apa saja, dia siap mendengarkan celotehan tek berujung dariku.
      “Aku ngerasa hidup ini gak adil Tan. Seolah cobaan itu hanya ditujukan untukku” Aku mengeluh padanya.
      Dengan gaya psikolognya yang khas dia berkata “Hidup ini selalu adil kok, Ly. Hanya kita saja yang kadang bebal dan gak pernah sadar. Ada banyak hal yang gak pernah kita tahu kenapa hidup kita begini dan begitu. Yang penting kita harus bisa mengambil hikmah dan bersyukur pada Tuhan”. Dia menatapku dalam.
      Tania memang selalu bisa meredam amarahku. Seolah ada sebongkah es yang membuat hatiku menjadi lebih dingin dan berubah seperti biasa lagi.
      Tahun berikutnya, aku dan Tania di tempatkan dalam satu kelas lagi, walaupun tidak satu bangku seperti tahun sebelumnya. Aku sangat aktif dalam kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah. Bahkan namaku sudah tidak asing lagi bagi guru, senior dan juniorku. Tania juga bilang begitu padaku saat kami tidak sengaja duduk bersama di taman sekolah. Saat itu aku sedang menunggu Sonia untuk membicarakan acara sosialisasi kesehatan minggu depan. Tiba-tiba saja Tania datang dan duduk di sebelahku.
      “Tahun ini benar-benar sudah menjadi milikmu Ly. Aku ikut senang dengan semua prestasimu, Ly”. Dia tersenyum ramah padaku.
      Aku balik tersenyum padanya dan kemudian pergi meninggalkannya duduk sendirian di taman.
      Aku sangat senang dengan apa yang aku dapatkan di tahun ini. Inilah yang aku impikan selama ini. Dikenal oleh banyak orang dan juga disanjung. Aku benar-benar melayang ke langit ketujuh, sehingga aku lupa dengan raut wajah Tania waktu itu. Raut wajah yang begitu ganjil. Bahkan aku baru tahu alasannya setahun kemudian.
      Aku masih bermain dan bercerita bersama Tania, tapi tidak sesering dan sesantai dulu lagi. Bukan hanya karena sibuk, tapi entah mengapa aku merasa bosan dan enggan bicara dengannya. Di dalam kelas pun aku jarang berbicara dengannya jika tidak ada sesuatu yang penting. Mungkin karena dia tidak begitu populer dan dikenal banyak orang. Tania memang tergolong murid biasa, dia hanya aktif dalam bidang Matematika. Dia juga jarang bermain di luar. Berbeda sekali denganku. Yang setiap harinya punya alasan untuk berada di luar kelas. Tetapi, dia tetap baik terhadapku. Dia selalu ada untukku ketika semua orang tidak peduli dan mementingkan urusannya masing-masing.
      Di penghujung tahun, aku dan juga Tania sibuk untuk mempersiapkan ujian akhir. Ujian akhir yang akan menentukan kemana kami akan melanjutkan pendidikan guna menggapai cita-cita.
      “Ly, kamu mau ngelanjutin sekolah kemana?” Tania bertanya padaku.
      “Hmm.. Rencananya aku mau sekolah di Padang. Kalau kamu Tan?” aku balik bertanya padanya.
      “Entahlah Ly. Aku juga gak tau mau kemana”. Dia mendesah pelan.
      Aku tertawa mendengar jawabannya.
      “Kamu kayak orang yang gak niat sekolah aja Tan”. Aku menatap Tania tak mengerti
      “Kalau begitu, aku akan sekolah kemana takdir menginginkanku”. Tania balik menatapku, lalu senyap.
      Aku kembali tertawa mendengar jawaban Tania. Dia tersenyum padaku. Aku tau itu bukan senyumnya. Aku tau itu bukan wajah Tania yang pemalu, juga bukan wajah Tania 2 tahun lalu. Aku tau dia berbeda saat itu. Tapi entah kenapa aku memilih bungkam.
      Ujian akhir pun usai, pendaftaran untuk siswa baru telah dibuka. Seperti yang aku inginkan, aku mendaftar di salah satu SMA terfavorit di Kota Padang, kota kelahiranku. Tania juga mendaftar di SMA pilihan tantenya. Bukan  di kota ini. Juga bukan di kota tempat aku mendaftar. Tapi di kota seberang pulau. Tentunya tanpa sepengetahuanku.
      Jam tanganku menunjukkan pukul 13:58. 2 menit lagi hasil kelulusan akan dibagikan. Aku mencoba melihat sekelilingku. Aku tidak melihat Tania.
      “Ah, mungkin sebentar lagi dia akan datang. Nanti aku akan mencarinya lagi” ucapku menenangkan diri.
      Aku berdiri di depan kelas sambil memikirkan kenapa Tania belum muncul juga. Tiba-tiba ada yang memanggil namaku. Aku menoleh. Ternyata Buk Tin yang memanggilku. Aku berjalan menuju Buk Tin yang sedang memegang banyak amplop ditangannya.
      “Lily, ini amplop kelulusanmu. Silahkan dibuka” kata Buk Tin sembari memberikan sebuah amplop padaku.
      Aku membuka amplop bewarna coklat tersebut dengan tangan gemetar. Aku meloncat kegirangan setelah melihat kertas ditanganku yang memperlihatkan bahwa aku LULUS. Aku pulang dengan wajah yang berseri-seri. Sejenak aku lupa bahwa aku berniat untuk mencari Tania. Ketika aku ingin membuka pintu, aku merasa kakiku menginjak sesuatu. Ternyata, aku menginjak sebuah buku kecil bewarna hijau. Warna kesukaanku, juga warna kesukaan Tania. Aku mengambilnya dan membawa ke kamar. Perlahan aku membukanya.

--------------------------------------

      Tanpa aku sadari, Ibu sudah berdiri dibelakangku. Ibu tau ritualku ini. Ibu juga tau kejadian 3 tahun silam itu. Kejadian yang membuatku tidak bisa berdamai dengan diriku sendiri. “Jangan lupa Ly. Bentar lagi kamu harus berangkat” kata Ibu sambil menyodorkan segelas susu coklat.
      Aku tersenyum dan kembali menatap buku kecil yang dari tadi aku pegang. Perlahan aku membukanya. Terlihat tulisan yang sudah tidak asing lagi bagiku. Aku mulai membacanya.

Saat itu, 1 hari sebelum kelulusan kita, ketika teman-teman menangis karena kepergianmu ke Padang. Aku juga menangis, hanya saja kamu tidak tahu Ly. Hari itu juga, aku harus berangkat ke Jawa Barat menyusul Ibuku, juga melanjutkan pendidikan ke sekolah pilihan tanteku. Maaf, karena aku tak pernah menceritakan hal ini padamu, Ly. Aku hanya ingin mempermudah perpisahan kita Ly. Aku sudah menganggapmu sebagai sahabatku juga pengganti saudaraku yang sudah meninggal 10 tahun yang lalu Ly. Kamu tahu, Ly? Dia meninggal tepat di depan mataku oleh para perampok. Aku benar-benar kehilangan dia. Aku sengaja tak pernah menceritakan semua ini. Karena aku tidak mau membuat semuanya menjadi lebih rumit. Maaf karena aku juga tak pernah bercerita padamu tentang Ibuku, Ly. 3 hari lagi, Ibu akan dioperasi. Ibu menderita penyakit jantung dan sekarang sudah stadium IV. Ibu adalah alasan utama kenapa aku harus pergi ke Jawa Barat. Aku tak peduli apakah aku melanjutkan sekolah atau tidak. Saat ini hal yang terpenting dalam hidupku adalah Ibu. Hanya Ibu dan Ibu, Ly. Selama ini aku hidup hanya untuk dan demi Ibu. Karena hanya Ibu yang benar-benar mengerti aku.

      Aku mengusap pipiku yang sedari tadi sudah basah. Aku teringat 10 menit yang lalu ketika Ibu mengantarkan segelas susu untukku. Aku juga sangat menyayangi Ibuku. Beliau adalah malaikat dalam hidupku. Air mataku mulai menetes kembali. Aku melanjutkan membacanya.

Ly, terima kasih karena kamu sudah mau berteman denganku. Aku selalu berdo’a yang terbaik untukmu. Maaf jika selama ini aku menyimpan begitu banyak kebohongan, Ly. Semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu di masa depan Ly.

      Hari ini aku tak tahan lagi. Aku tak tahan meneruskan membacanya. Aku mengutuk diriku sendiri. Bagaimana bisa aku menganggap hidup ini tidak adil. Benar apa yang dikatakan oleh Tania padaku. Dan bodohnya, aku benar-benar tidak sadar dan mengerti. Seharusnya aku bisa belajar dari Tania.
      Tangisku pecah. Aku butuh waktu untuk bisa berfikir rasional kembali. Aku sudah memutuskan, aku tak akan pergi malam ini. Mungkin esok, lusa, atau tahun depan atau tak akan pernah pergi. Ibu juga tau hal itu. Ibu tahu segala-galanya.

------------------------------------------

      2 hari kemudian . . .

      Hari ini aku sudah membaik. Lebih baik malah. Ibu banyak membantuku untuk berdamai. Bahkan sekarang aku sudah berada didalam pesawat yang akan mengantarkanku jauh ke negeri seberang. Negeri dimana aku akan melanjutkan sekolah dan membangun masa depanku. Aku sudah memutuskan untuk pergi menemui janji masa depanku. Walau aku tau kepergian ini tak akan membuat masa lalu dengan Tania itu hilang. Setidaknya aku sudah bisa berdamai. Berdamai dengan masa lalu itu. Aku memandang melihat luasnya laut biru yang membentang dibawah sana. Sejenak aku pejamkan mata. “Semoga kita bisa bertemu kembali, Tania. Entah itu dibawah, disini atau bahkan diatas sana. Aku sungguh merindukanmu”. Aku memeluk buku kecil berwarna hijau miliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar