Esok, lusa
atau tak akan lagi
Sore
ini, hujan turun lagi. Seperti sore-sore yang lalu. Menyenangkan. Membuat
suasana di luar terlihat damai mententramkan. Tidak deras, hanya gerimis.
Tetapi, cukup untuk membuat indah kerlip lampu yang mulai menyala satu persatu.
Aku menghela napas panjang. Tanganku pelan
menyentuh kaca yang berembun. Dingin pun mulai menyergap ujung jari, mengalir
ke telapak tangan dan menerobos siku, bahu, kemudian tiba di hatiku.
Dari lantai dua kamarku ini, aku memandang
jalan besar. Ada lampu putih bundar setiap beberapa meter di pembatas jalan
itu, serta pot dengan rumpun bunga. Lampu putih bundar itulah yang terlihat
indah. Berbaur dengan puluhan siluet cahaya lampu mobil yang melintas.
Setiap sore, aku selalu menyempatkan diri
untuk berdiri didepan kaca sambil memandang keluar. Itu sudah menjadi ritualku
seminggu terakhir. Disinilah tempatku tepekur mengenang semuanya, termasuk
sebagian masa lalu yang masih membekas hingga saat ini.
Aku melirik jam hijau bergambar katak yang
terletak di meja belajarku. Sudah jam 7. Itu berarti, hampir setengah jam aku
hanya berdiri memandang jalanan yang penuh cahaya. Seketika, aku teringat foto-foto
dalam diafragma lambat itu.
-------------------------------------
Hari itu adalah hari pembagian kelas untuk
siwa baru di SMP-ku. Aku duduk bersama teman baruku, Tania namanya. Aku mencoba
menyapanya.
“Hai, namaku Lily” sambil menyodorkan
tangan padanya.
“Namaku Tania”, jawabnya sambil menjabat
tanganku dan memasang tampang malu.
“Semoga kita cocok dan bisa berteman baik,
ya Tania!“ Aku tersenyum dan duduk di sebelahnya.
Aku berfikir bahwa dia adalah anak yang
pemalu. Tapi, dalam hitungan hari aku berubah fikiran. Tania sebenarnya bukan
pemalu. Dia ramah, rajin, baik, humoris dan pintar. Hanya saja dia kurang
percaya diri. Aku senang sebangku dengannya. Bahkan ketika aku mempunyai
masalah apa saja, dia siap mendengarkan celotehan tek berujung dariku.
“Aku ngerasa hidup ini gak adil Tan.
Seolah cobaan itu hanya ditujukan untukku” Aku mengeluh padanya.
Dengan gaya psikolognya yang khas dia
berkata “Hidup ini selalu adil kok, Ly. Hanya kita saja yang kadang bebal dan
gak pernah sadar. Ada banyak hal yang gak pernah kita tahu kenapa hidup kita
begini dan begitu. Yang penting kita harus bisa mengambil hikmah dan bersyukur
pada Tuhan”. Dia menatapku dalam.
Tania
memang selalu bisa meredam amarahku. Seolah ada sebongkah es yang membuat
hatiku menjadi lebih dingin dan berubah seperti biasa lagi.
Tahun berikutnya, aku dan Tania di tempatkan
dalam satu kelas lagi, walaupun tidak satu bangku seperti tahun sebelumnya. Aku
sangat aktif dalam kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah. Bahkan namaku
sudah tidak asing lagi bagi guru, senior dan juniorku. Tania juga bilang begitu
padaku saat kami tidak sengaja duduk bersama di taman sekolah. Saat itu aku
sedang menunggu Sonia untuk membicarakan acara sosialisasi kesehatan minggu
depan. Tiba-tiba saja Tania datang dan duduk di sebelahku.
“Tahun ini benar-benar sudah menjadi milikmu
Ly. Aku ikut senang dengan semua prestasimu, Ly”. Dia tersenyum ramah padaku.
Aku balik tersenyum padanya dan kemudian
pergi meninggalkannya duduk sendirian di taman.
Aku sangat senang dengan apa yang aku
dapatkan di tahun ini. Inilah yang aku impikan selama ini. Dikenal oleh banyak
orang dan juga disanjung. Aku benar-benar melayang ke langit ketujuh, sehingga
aku lupa dengan raut wajah Tania waktu itu. Raut wajah yang begitu ganjil.
Bahkan aku baru tahu alasannya setahun kemudian.
Aku masih bermain dan bercerita bersama
Tania, tapi tidak sesering dan sesantai dulu lagi. Bukan hanya karena sibuk,
tapi entah mengapa aku merasa bosan dan enggan bicara dengannya. Di dalam kelas
pun aku jarang berbicara dengannya jika tidak ada sesuatu yang penting. Mungkin
karena dia tidak begitu populer dan dikenal banyak orang. Tania memang tergolong
murid biasa, dia hanya aktif dalam bidang Matematika. Dia juga jarang bermain
di luar. Berbeda sekali denganku. Yang setiap harinya punya alasan untuk berada
di luar kelas. Tetapi, dia tetap baik terhadapku. Dia selalu ada untukku ketika
semua orang tidak peduli dan mementingkan urusannya masing-masing.
Di penghujung tahun, aku dan juga Tania
sibuk untuk mempersiapkan ujian akhir. Ujian akhir yang akan menentukan kemana
kami akan melanjutkan pendidikan guna menggapai cita-cita.
“Ly, kamu mau ngelanjutin sekolah kemana?”
Tania bertanya padaku.
“Hmm..
Rencananya aku mau sekolah di Padang. Kalau kamu Tan?” aku balik bertanya
padanya.
“Entahlah Ly. Aku juga gak tau mau
kemana”. Dia mendesah pelan.
Aku tertawa mendengar jawabannya.
“Kamu kayak orang yang gak niat sekolah
aja Tan”. Aku menatap Tania tak mengerti
“Kalau begitu, aku akan sekolah kemana
takdir menginginkanku”. Tania balik menatapku, lalu senyap.
Aku kembali tertawa mendengar jawaban
Tania. Dia tersenyum padaku. Aku tau itu bukan senyumnya. Aku tau itu bukan
wajah Tania yang pemalu, juga bukan wajah Tania 2 tahun lalu. Aku tau dia
berbeda saat itu. Tapi entah kenapa aku memilih bungkam.
Ujian akhir pun usai, pendaftaran untuk
siswa baru telah dibuka. Seperti yang aku inginkan, aku mendaftar di salah satu
SMA terfavorit di Kota Padang, kota kelahiranku. Tania juga mendaftar di SMA
pilihan tantenya. Bukan di kota ini.
Juga bukan di kota tempat aku mendaftar. Tapi di kota seberang pulau. Tentunya
tanpa sepengetahuanku.
Jam tanganku menunjukkan pukul 13:58. 2
menit lagi hasil kelulusan akan dibagikan. Aku mencoba melihat sekelilingku.
Aku tidak melihat Tania.
“Ah, mungkin sebentar lagi dia akan datang.
Nanti aku akan mencarinya lagi” ucapku menenangkan diri.
Aku berdiri di depan kelas sambil
memikirkan kenapa Tania belum muncul juga. Tiba-tiba ada yang memanggil namaku.
Aku menoleh. Ternyata Buk Tin yang memanggilku. Aku berjalan menuju Buk Tin
yang sedang memegang banyak amplop ditangannya.
“Lily, ini amplop kelulusanmu. Silahkan
dibuka” kata Buk Tin sembari memberikan sebuah amplop padaku.
Aku membuka amplop bewarna coklat tersebut
dengan tangan gemetar. Aku meloncat kegirangan setelah melihat kertas
ditanganku yang memperlihatkan bahwa aku LULUS. Aku pulang dengan wajah yang
berseri-seri. Sejenak aku lupa bahwa aku berniat untuk mencari Tania. Ketika
aku ingin membuka pintu, aku merasa kakiku menginjak sesuatu. Ternyata, aku
menginjak sebuah buku kecil bewarna hijau. Warna kesukaanku, juga warna
kesukaan Tania. Aku mengambilnya dan membawa ke kamar. Perlahan aku membukanya.
--------------------------------------
Tanpa aku sadari, Ibu sudah berdiri
dibelakangku. Ibu tau ritualku ini. Ibu juga tau kejadian 3 tahun silam itu.
Kejadian yang membuatku tidak bisa berdamai dengan diriku sendiri. “Jangan lupa
Ly. Bentar lagi kamu harus berangkat” kata Ibu sambil menyodorkan segelas susu
coklat.
Aku tersenyum dan kembali menatap buku
kecil yang dari tadi aku pegang. Perlahan aku membukanya. Terlihat tulisan yang
sudah tidak asing lagi bagiku. Aku mulai membacanya.
Saat itu, 1 hari sebelum kelulusan kita, ketika
teman-teman menangis karena kepergianmu ke Padang. Aku juga menangis, hanya saja kamu
tidak tahu Ly. Hari itu juga, aku harus berangkat ke Jawa Barat menyusul Ibuku,
juga melanjutkan pendidikan ke sekolah pilihan tanteku. Maaf, karena aku tak
pernah menceritakan hal ini padamu, Ly. Aku hanya ingin mempermudah perpisahan
kita Ly. Aku sudah menganggapmu sebagai sahabatku juga pengganti saudaraku yang
sudah meninggal 10 tahun yang lalu Ly. Kamu tahu, Ly? Dia meninggal tepat di
depan mataku oleh para perampok. Aku benar-benar kehilangan dia. Aku sengaja
tak pernah menceritakan semua ini. Karena aku tidak mau membuat semuanya
menjadi lebih rumit. Maaf karena aku juga tak pernah bercerita padamu tentang
Ibuku, Ly. 3 hari lagi, Ibu akan dioperasi. Ibu menderita penyakit jantung dan
sekarang sudah stadium IV. Ibu adalah alasan utama kenapa aku harus pergi ke
Jawa Barat. Aku tak peduli apakah aku melanjutkan sekolah atau tidak. Saat ini
hal yang terpenting dalam hidupku adalah Ibu. Hanya Ibu dan Ibu, Ly. Selama ini
aku hidup hanya untuk dan demi Ibu. Karena hanya Ibu yang benar-benar mengerti
aku.
Aku
mengusap pipiku yang sedari tadi sudah basah. Aku teringat 10 menit yang lalu
ketika Ibu mengantarkan segelas susu untukku. Aku juga sangat menyayangi Ibuku.
Beliau adalah malaikat dalam hidupku. Air mataku mulai menetes kembali. Aku
melanjutkan membacanya.
Ly, terima kasih karena kamu sudah mau berteman
denganku. Aku selalu berdo’a yang terbaik untukmu. Maaf jika selama ini aku
menyimpan begitu banyak kebohongan, Ly. Semoga suatu saat nanti kita bisa
bertemu di masa depan Ly.
Hari
ini aku tak tahan lagi. Aku tak tahan meneruskan membacanya. Aku mengutuk
diriku sendiri. Bagaimana bisa aku menganggap hidup ini tidak adil. Benar apa
yang dikatakan oleh Tania padaku. Dan bodohnya, aku benar-benar tidak sadar dan
mengerti. Seharusnya aku bisa belajar dari Tania.
Tangisku pecah. Aku butuh waktu untuk bisa
berfikir rasional kembali. Aku sudah memutuskan, aku tak akan pergi malam ini.
Mungkin esok, lusa, atau tahun depan atau tak akan pernah pergi. Ibu juga tau
hal itu. Ibu tahu segala-galanya.
------------------------------------------
2 hari kemudian . . .
Hari ini aku sudah membaik. Lebih baik
malah. Ibu banyak membantuku untuk berdamai. Bahkan sekarang aku sudah berada
didalam pesawat yang akan mengantarkanku jauh ke negeri seberang. Negeri dimana
aku akan melanjutkan sekolah dan membangun masa depanku. Aku sudah memutuskan
untuk pergi menemui janji masa depanku. Walau aku tau kepergian ini tak akan
membuat masa lalu dengan Tania itu hilang. Setidaknya aku sudah bisa berdamai.
Berdamai dengan masa lalu itu. Aku memandang melihat luasnya laut biru yang
membentang dibawah sana. Sejenak aku pejamkan mata. “Semoga kita bisa bertemu
kembali, Tania. Entah itu dibawah, disini atau bahkan diatas sana. Aku sungguh merindukanmu”.
Aku memeluk buku kecil berwarna hijau miliknya.